Tampilkan postingan dengan label book. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label book. Tampilkan semua postingan
novel-sederhana-sarat-makna


Jangan Sisakan Nasi Dalam Piring, Novel Sederhana Sarat Makna. Itulah kesan kuat yang saya rasakan setelah membaca novel karya Baby Ahnan dengan nama pena Kembangmanggis berjudul "Jangan sisakan nasi dalam piring " .

Melalui novel ini, Kembangmanggis menyajikan 23 bab cerita ringan yang menceritakan betapa bersahajanya masyarakat Bali yang lekat dengan budaya dan kebudayaan Bali. Setiap Bab memiliki alur dan plot cerita yang berbeda tetapi memiliki benang merah yang sama, yaitu hikmah dalam kisah sederhana dan ringan.

Bagi penyuka genre drama dan psikologis thriller serta konspirasi, jangan harap menemukan klimaks dengan alur dan plot yang tak terduga dalam buku ini. Dibutuhkan kesabaran hingga akhirnya mendapatkan buah hikmah dari buku ini.

Untungnya, saya penyuka tiga genre diatas tapi juga penyuka buku motivasi dan novel yang sarat hikmah. Sehingga, saya memiliki ekspektasi cukup tinggi terhadap buku ini terkait insight yang akan saya dapatkan setelah membacanya.
Lantas apakah ekspektasi saya terwujud? ikuti perjalanan saya dalam menemukan jawabannya yaa.

Jangan Sisakan Nasi Dalam Piring, Novel Dengan Awal yang Membosankan


Berangkat dari tantangan membaca #tanosreadingclub dan #tanosreadingchallenge bulan Maret dan April , saya memaksakan diri membaca buku ini. Sebagai salah satu admin komunitas Tanos, tentu ada rasa malu yang menggelitik saya jika tidak ikut berpartisipasi hanya karena alasan saya tidak punya cukup waktu dan mood karena tugas utama saya sebagai seorang ibu.



profil-penulis-kembangmanggis


Baby Ahnan menulis 23 cerita ringan dan sederhana dalam novel ini. Secara garis besar novel ini menceritakan keseharian Baby Ahnan bersama kedua putrinya di studio sederhana yang mereka milki. Keseharian yang sederhana, ringan dan bersahaja yang penulis temukan dalam kehidupan masyaraht di Ubud - Bali.
 
Lewat novel ini saya menemukan filosofis hidup masyarajat bali yang begitu dalam dan menjunjung nilai bidaya dan tradisi. Tidak heran nampaknya mengapa Bali tetap kuat dengan tradisi meski berada di zaman modern seperti sekarang.

Awalnya saya apatis dan skeptis terhadap novel ini. Skeptis dengan judul novel yang bagi saya mitos belaka dan hanya bualan para orangtua agar menghabiskan makanan dalam piring anak - anak mereka dengan alasan mubazir.

Tidak salah memang, tetapi lewat novel ini saya menemukan hikmah yang jauh lebih besar tapi sederhana. Seperti apa hikmahnya?

Teman - teman harus mengalaminya sendiri dan menemukan mutiara hikmah tersebut. Karena saya yakin interpretasi setiap orang yang membaca buku ini akan berbeda.

Ya. Mulai dari bab pertama hingga bab tujuh ceritanya membosankan bagi saya hingga saya berniat tidak melanjutkan dan berhenti. Saya pun berujar novel ini terlalu ringan dan kurang asyik. Tidak ada klimaks dan membuat saya mengantuk. Maklum, saya memang penggemar cerita yang penuh dengan drama dan klimaks yang berpendar layaknya kembang api.

Bagi saya yang menyukai cerita thrillers, konspirasi dan psikologi thriller, awal cerita buku ini memang membuat saya bosan dan membutuhkan kesabaran extra dalam membaca bab tiap bab.

Kesabaran extra juga sangat saya butuhkan karena saya membaca novel ini sambil membersamai anak-anak bermain yang terkadang diselingi iklan anak minta jajan, minta makan, bertengkar, nangis hingga minta pup yang akhirnya merusak mood saya.

Terlebih saya mendapatkan awal cerita yang terlalu sederhana dan seakan - akan hanya mengikuti cerita jurnal dari seorang fotografer selama di Bali. Biasa saja.
Tapi ternyata, bab pertama hingga bab tujuh inilah merupakan pondasi lima belas cerita selanjutnya.

Halaman pertama bahkan membuat saya skeptis dengan apa yang ditulis Kembangmanggis soal menyamakan fotografi dengan seni. Pemahaman ini tentu berangkat dari minimnya pengetahuan saya soal fotografi.

Lantas perspektif saya berubah setelah membaca buku ini. Karena seyogyanya, fotografi sendiri merupakan bagian dari seni. Karena seni soal rasa, maka dibutuhkan rasa yang kuat dan filosofis mendalam di setiap pengambilan jepretan.

Maafkan, saya telah berprasangka buruk


Meski saya mengawali membaca buku ini dengan prasangka buruk dan penilaian yang kurang menyenangkan, saya tetap melanjutkan membaca. Terlebih setelah membaca bab delapan yang usai membacanya hati saya sedih, hangat sekaligus tercerahkan.

Hikmahnya hanya satu! iya hanya satu hikmah saja. satu hikmah yang begitu kuat terpatri dalam sanubari saya yang akhirnya membuat saya tercengang dan berkata,
“ Oh… Ya Tuhan, mengapa saya tidak berpikir seperti itu selama ini? mengapa tidak pernah terpikirkan sama sekali? ”
Seketika saya paham, mengapa ada karya fotografi yang ketika kita memandangnya hati kita menjadi hangat, sedih, marah, kecewa bahkan putus asa. Karena, sang fotografer melukiskan perasaannya melalui kuas lensa kesayangannya dengan perasaan yang saat itu ia rasakan. Rasa yang ia temukan dalam scene depan mata yang terkadang langka terjadi karena ada hikmah, cerita dan pemahaman mendalam didalamnya.

Agak sulit dipahami kah?

Secara sederhana seperti teman-teman yang hobi menggambar sebagai luapan emosi, lalu membuat karya berdasarkan perasaan saat itu lantas lahirlah mahakarya, seperti itulah kira-kira.

Tidak heran mengapa seorang seniman tidak dapat membuat karya yang sama meski menggunakan teknik dan metode yang sama, karena yang berbeda adalah rasa.

Hingga titik ini, akhirnya saya paham dan merasa malu serta bersalah karena sudah berprasangka.

Sebuah prasangka buruk yang mengantarkan saya pada rasa malu sekaligus takjub setelahnya. Seperti prasangka buruk yang kerap kita sematkan pada orang atau peristiwa diluar kuasa kita lantas ketika semesta membuka tabir di balik sebuah peristiwa, kita dibuat malu namun di rangkul lembut sang hikmah. Tak terasa, air mata pun menetes.

Seperti hikmah - hikmah yang saya dapatkan dari dua puluh tiga cerita dalam Novel Kembangmanggis yang satu ini.

Novel Sederhana Sarat Makna


Dengan pemilihan diksi yang teramat sederhana bahkan tidak puitis sama sekali, Kembangmanggis berhasil membuat saya menangis dan terenyuh setiap selesai membaca bab demi bab hingga usai.
Seperti,
Bercengkerama dengan petani-pertani sambil menghirup kopi saat petang, selalu berhasil membuat saya merasa ketinggalan ( Hal.17)
Juga, ketika sang Penulis menceritakan mengapa peternak bebek tidak pernah mau menjual bebeknya sekalipun sudah tua, telur pun jarang disantapnya ( Hal.23)

Bicara soal prasangka, novel ini menyuguhkan banyak cerita prasangka terhadap sesorang yang terlihat berwajah judes, julid, pelit bahkan yang memaksa membeli dagangannya. Bukan hanya prasangka, tapi juga nilai kebaikan yang tidak masuk diakal dari pedagang yang penulis temui dan kerelaan berbagi dengan sesama dan makhluk hidup.
" Saya, Anggit dan Nala, berutang padanya sebuah ketulusan pemberian "( Hal.64)

" Bila makan di resto, mana bisa pesan separo? kalaupun bisa, harganya biasanya tidak jauh dari satu porsi atau sama saja. Di sini aneh: boleh separo. Tapi isinya sama banyak. Hanya nasi yang sedikit. Pembedanya adalah bayaranya yang hanya separo. Si Bapak Payangan murah hati sekali!" ( Hal. 111)

Satu bab yang paling menyentuh naluri keibuan saya yaitu bab ketiga belas, Jajan Bali. Diceritakan secara singkat, anak - anak kecil menjajakan jajanan Bali dengan tangan yang cekatan dan terampil. Hal tersebut sontak membuat Penulis teringat kedua anaknya yang masih memilki dia untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak perlu kerja keras seperti mereka. 

"Dan saya ceritakan pada Pak jumu tentang tangan-tangan kecil yang membuatnya. Persis seperti tangan-tangan kecil Anggit dan Nala dulu. Tanpa terasa, mata saya membasah ketika berusaha menceritakannya" ( Hal. 128)


Bukan hanya soal kehidupan masyarakat Bali, novel ini juga menceritakan hubungan manusia dan hewan, jika diawal menceritakan tentang bebek maka di bagian tengah menceritakan tentang anjing galak bernama chiro yang walaupun galak sangat dekat dengan anak-anak Penulis. Bahkan sudah menjadi bagian keluarga kecil mereka dan sedih luar biasa ketika harus meninggalkan sang anjing. Ada komunikasi aneh yang terjalin antara hewan peliharaan dengan pemiliknya. Saya bisa merasakannya, karena saya memelihara kucing.

Saya rasa, kekuatan novel ini berada pada kemampuan penulis dalam menulis dengan hati. Ya, saya tahu semua penulis juga akan melakukan hal yang sama, tapi berbeda dengan Kembangmanggis. Melalui pemilihan diksi yang sederhana dan ringan, Kembangmanggis bertutur kisah yang walaupun sederhana selalu berakhir dengan insight. Mungkin satu frekuensi dengan saya karena saya terbiasa menulis buku harian dengan pola seperti itu. 

Curhat panjang lebar dan berkeluh kesah hingga gigi rontok dan rambut keriting, tapi diakhir cerita biasanya saya mengumpulkan sisa energi untuk mencoba melihat dan meresapi lebih dalam permasalahan yang saya hadapi dan mencari celah insight dan solusi.

Novel ini sekilas mengingatkan saya kepada microblog milik Vansophi yang kerap saya baca lewat akun instagramnya.

Sama - sama bercerita hal yang sederhana tapi sarat makna.

Tidak diperlukan plot yang dahsyat atau membuat jidat berkerut hingga membutuhkan kerja keras otak untuk memahaminya. Ajaibnya, setiap hikmah itu melekat kuat dalam pikiran dan merubah perspektif saya terhadap hidup dan orang - orang di sekitar saya.

Apakah Buku ini Wort it to read?


Definitely yes. Keunikan buku ini bukan hanya dari ringan dan sederhana ceritanya, tapi juga disertai sketsa yang juga sederhana tapi mampu mewakii isi cerita. Layaknya quote, “bahagia itu sederhana” maka quote yang hampir sama saya sematkan pada novel Jangan Sisakan Nasi Dalam Piring ini, 
“ hikmah bisa didapat dari hal yang sederhana”
Melalui novel ini, Kembangmanggis mengetuk hati nurani melalui dua puluh tiga cerita lewat alur dan plot yang ringan dan sederhana namun sarat makna.

Dan ekspektasi saya terhadap buku ini, terealisasi. 

Selain hikmah, akhirnya saya menemukan alasan mengapa Baby Ahnan, menggunakan judul yang panjang ini sebagai judul novel. Bukan sekedar mitos, bukan pula anjuran makan 4 sehat 5 sempurna apalagi bualan para orang tua ketika melihat anaknya tidak menghabiskan makanannya seperti yang saya kira sebelumnya.

Apa sih alasannya? silahkan temukan harta karun hikmah dengan membaca novel ini, hehehe. Tetapi, saya kasih sedikit saja quote favorit saya dalam buku ini,

"Jangan sisakan nasi dalam piring,

Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk berterimakasih pada kerja keras para petani. Untuk menghormati mereka dengan cara yang sama sebagaimana mereka menghormati padi. Bahkan di setiap bulirnya" 

 

Selamat membaca.